Selasa, 23 Oktober 2012

Perkembangan Kebudayaan dan Agama Di Kerajaan Sriwijaya



Sejarah Singkat Sriwijaya

Sriwijaya (Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya”, dan wijaya berarti “kemenangan”
atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”.


Agama

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana. Pendeta dari Tiongkok I Tsing melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda – India pada tahun 671 dan 695. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Vuddha sehingga menjadi pusat pembelanjaan agama Buddha.

Dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti. Sakyakirti adalah seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10. Atisa adalah seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet.



Kebudayaan

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi kebudayaan India, pertama ialah kebudayaan agam Hindu, kemudian diikuti kebudayaan agama Buddha.
Kutipan I Tsing mengenai gambaran Sriwijaya
“...banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau – pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Buddha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu disini selama 1 atau 2 tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India”.

Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Arca Maitreya sebagai peninggalan dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 Masehi. Sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Buddha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya.

Sejak abad ke-7, bahasa Melayu Kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, yang ditemukan dipulau Jawa. Hubungan dagang dilakukan suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu Kuno, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu Kuno menjadi Laingua Franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.



**Referensi = Sriwijaya

1 komentar: